Sumber : lintasgayo.com
Didong Jalu di Gayo
Lues berbeda dengan Didong Jalu yang dikenal di 2 kabupaten Tanoh Gayo
lainnya, Aceh Tengah dan Bener Meriah yang dimainkan sekitar 15-20 orang
dengan duduk melingkar melantunkan syair-syair yang menyindir klub
satunya dengan berbalas pantun. Setiap penampilan diselingi dengan
tepukan diatas Bantal Didong guna meningkahi tepukan tangan pemain
lainnya. Para pelantun syairnya disebut Ceh dan pembantu Ceh disebut
Apit. Sementara para pengiring lantunan syair lagu dengan tepukan tangan
dan bantal disebut Penepok yang dibagi lagi diantaranya bertugas
sebagai peningkah tepukan.
Dalam tulisan hasil perjalanan ke Kabupaten berjuluk Negeri Seribu Bukit saat pergantian tahun 2011 ke 2012 lalu ini tidak kami rincikan dengan detil perbedaan atau persamaan kedua jenis seni yang sama dalam penamaan ini. Namun lebih kepada penulisan penjelasan salah seorang nenek (Anan: Gayo) yang dikenal masyarakat setempat memahami seluk beluk Didong Jalu Gayo Lues.
Namanya Anan Rabumah Inen Bakar, usianya
kurang lebih sudah mencapai 70 tahun. Dia lahir di Kampung Gunyak
Kabupaten Gayo Lues dan kini tinggal di Kampung Bukit Kecamatan
Blangkejeren.
Dijelaskan Anan Rabumah, Jum’at
(6/1/2012), Didong Jalu Gayo Lues yaitu Didong yang dilakukan pada
acara-acara tertentu seperti acara perkawinan atau Sunat Rasul.
Didong ini lazim dilaksanakan pada malam hari setelah shalat Isya yang dimainkan 2 (dua) regu.
Didalam Didong Jalu Gayo Lues hanya
dimainkan oleh 2 orang Pegawe Didong (orang yang dianggap ahli dalam
berseni Didong, Guru Didong). Mereka diundang dari 2 kampung yang
berbeda, begitu juga dengan pesertanya mereka membawa Penyurak (tim
pendukung-red) yang terdiri dari pemuda dan pemudi. Setiap Pegawe atau
Guru Didong didampingi oleh penyurak yang berjumlah 20 orang atau lebih.
Penyurak gunanya untuk mendukung dan
memberikan semangat kepada Pegawe Didong disela-sela melantunkan adi-adi
(syair atau pantun-red). Didong disambut oleh penyurak sambil bertepuk
tangan serta menggerakkan badan ke kiri dan ke kanan atau ke muka dan ke
belakang seperti orang yang sedang berzikir.
Syair yang wajib dilantunkan atau Tabi ni Didong merupakan Syair yang wajib dilantunkan kedua Pegawe Didong secara bergantian.
Inti dari Didong ini adalah Mungune (teka teki-red). Teka teki ini dilakukan secara bergantian selama 15-30 menit atau lebih.
Aturan Mungune ini, pertama membuka
pertanyaan masalah Syara’ agama dan kedua masalah adat istiadat Gayo.
Tetapi harus melalui tahap Sidik (menyelidiki) terlebih dahulu, demikian
juga nanti sebaliknya.
Dijelaskan Anan Rabumah, seorang Pegawe
Didong ditentukan keahlian saat menjawab setiap pertanyaan dari Pegawe
Didong yang menjadi lawannya terkait istilah dalam Didong (tali kune
atau tali sidik).
Bila pertanyaan bisa di jawab oleh sang
penanya maka si penjawab dinyatakan menang dalam Didong ini. Agar posisi
mereka setara dengan Si Opat (Sarakopat) dalam struktur pemerintahan di
Gayo, Pegawe Didong dituntut harus mengetahui dan menguasai seluk beluk
adat istiadat dan hukum-hukum dalam Agama Islam.
Anan Rabumah menegaskan bahwa berseni Didong bukanlah acara untuk bermaksiat berdua-duaan seberu sebujang, minum-minuman keras.
Contohnya Rukun 13 shalat 5 waktu, para
Pegawe Didong harus bisa menjelaskan dengan baik dalam syair-syairnya,
serta contoh-contoh ilmu ketauhidan dan ilmu agama Islam lainnya yang
mesti dikuasai dan diamalkan setiap ummat Islam.
“Orang Gayo dulu mengatakan ketimang
nupet nguken nonton Didong, munupet dosanya turun temurun namun
mendengarkan Didong ilmu pun bertambah, itu pun bila kita menyaring bait
demi bait yang di ucapkan,” kata Anan Rabumah.
Menjadi Pegawe tidak semudah yang
dibayangkan, katanya lagi. “Salah mengucapkan mendapat dosa,” katanya
bernada mengingatkan para Pegawe Didong.
Didong sekarang, menurut Anan Rabumah kurang menerangkan masalah agama tapi kebanyakan menerangkan tentang kehidupan dunia saja.
Anan Rabumah menyayangkan Pegawe Didong sekarang jika dibandingkan dengan Pegawe Didong dahulu.
Umumnya Pegawe Didong menjadi Tengku
karena mereka mengusai adi-adi atau sya’ir yang membahas tentang Agama.
Kegunaan Didong Jalu dulunya untuk berdakwah menyampaikan dan
menceritakan tentang Agama Islam yang di bawa Rasullulah SAW kepada
masyarakat dan juga menyampaikan adat istiadat dan budaya, namun kini
perubahan Didong Jalu hanya sekedar meramaikan acara-acara yang diadakan
masyarakat Gayo, papar Anan Rabumah dengan nada miris.
“Lihat sendiri bagaimana sudah perubahan
Didong Jalu sekarang, bagaimana kita mengembalikan jati diri kita
selaku Urang Gayo,” keluh Anan Rabumah mengakhiri keterangannya.
(M. Zhahri/03)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar